A.
MUSYAWARAH DALAM ISLAM
B.
Pentingnya Musyawarah Dalam
Mengambil Setiap Keputusan
C.
Islam memandang musyawarah sebagai
salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan
lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang
memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam
memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
D.
Musyawarah itu di pandang penting,
antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu
mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana
untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
E.
Adapun bagaimana sistem
permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak
memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan
diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.
F.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah
permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang
masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah
yang dianjurkan atau diperintahkan dalam islam itu khusus dalam masalah-masalah
keduaniawian dan tidak untuk soal-soal keagamaan.
G.
Sementara sebagian yang lain
berpendirian bahwa disamping masalah-masalah keduniawian, musyawarah juga dapat
dilakukan dalam soal-soal keagamaan sejauh yang tidak jelaskan oleh wahyu
(Al-Qur’an dan Hadis)
H.
Terlepas dari perbedaan pendapat
di atas, yang jelas antara persoalan-persoalan duniawi dan agamawi tak dapat
dipisahkan meskipun antara yang satu dengan yang lain memang dapat di bedakan.
Dan suatu hal yang telah di sepakati bersama oleh para ulama ialah bahwa
musyawarah tidak di benarkan untuk membahas masalah-masalah yang ketentuannya
secara tegas dan jelas telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
I.
Ayat-ayat Tentang Musyawarah
J.
Surat Al-Baqarah ayat 233:
K.
Artinya: “Apabila keduanya (suami
istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan
permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS.
Al-Baqarah: 233)
L.
Ayat ini membicarakan bagaimana
seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan
rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya.
Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan
musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah,
seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan
berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat
di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk
persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
M.
Surat Ali ‘Imran ayat 159:
N.
Artinya: “Maka disebabkan rahmat
Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau
telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
O.
Dalam ayat ini disebutkan sebagai
fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”.
Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang
tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan
kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
P.
Disisi lain, orang yang
bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin
saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu
masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah
musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Q.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah
pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak
orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah
itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin
Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut.
Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya
dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa
Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja.
R.
Kepada Umar Bin Khattab juga
dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja.
Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab
bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua
pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk
mengambil kesimpulan.
S.
Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat
ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras
hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran
Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar
Shiddik.
T.
Di sisi lain memberi peringatan
kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima
hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai
orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang
itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
U.
Rasulullah juga bermusyawarah
dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan
idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide
tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka
berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi
lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan
bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama
Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini.
V.
Surat At-Thalaq ayat 6:
W.
Artinya: “Tempatkanlah mereka para
istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang
sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala
sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh
menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)
X.
Surat Al-Syura ayat 38:
Y.
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Z. A. Pengertian
Musyawarah
Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat
orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan
dengan perundingan atau tukar pikiran.
Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang
berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya
tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani,
bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan
berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah
bagi kehidupan umat manusia, antara lain dapat dilihat dari perhatian al-Qur’an
dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
B. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
AA.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:
BB.
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut
terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya
mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
(QS. Ali ‘Imran: 159)
Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara
harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati
akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah
tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan
sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu
memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan
pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan
bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi
akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu
anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan
kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi
tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan
musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta
pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan
pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan
membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi
kehadirannya baru saja.
Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa
tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya.
Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan
mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di
mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat
kesulitan untuk mengambil kesimpulan.
Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW
berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati
sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai
dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik.
Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam
permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah
SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya
ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi
perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy
yang kembali dari Syam ide tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan
kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau
mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan
sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada
Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap
tinggal disini.
Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang
hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan
mereka.
CC.
DD.
عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله
أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسل
EE.
Hadis yang diriwayatkan dari hasan semoga redha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui
apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari
Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka
ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).
Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada
didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka,
apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab
itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan
mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah
dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau
memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan
pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu
Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat
perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat
dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun
kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan
urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam
menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum
Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan
kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan
membahayakan umatnya.
Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah
diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang.
Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin
dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah
beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam
menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu.
Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah
melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak
mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah.
Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta
sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi
mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai
Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala
zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abi Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat
mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi
pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan
Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan
duniawi kita.
4. Surat Al-Syura ayat 38:
FF.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
GG.
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang
bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang
mereka laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga
berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka
musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada
dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya
berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat
dimusyawarahkan.
Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah
perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang
berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan
rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka
mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada
lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka
bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat
itu, contohnya dalam peperangan.
Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk
memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang
mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing.
Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk
masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum
terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang
menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah
anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan
petunjuk Allah di dalamnya.
HH.
A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة-
مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan
pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain.
Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat
mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan
atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena
masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau
mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan
itu.
1. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
II.
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
JJ.
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum
dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak
ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:
KK.
LL.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ
لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
MM.
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut
terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya
mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
(QS. Ali ‘Imran: 159)
3. Surat At-Thalaq ayat 6:
NN.
OO.
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ
كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ
بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَ
PP.
Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati
mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu
menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.”
(QS. At-Thalaq: 6)
4. Surat Al-Syura ayat 38:
QQ.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
RR.
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
1. PERINTAH MUSYAWARAH
Bacalah ayat-ayat dibawah ini dengan tartil perhatikan
tajwid dan kefasihanmu lakukan selama 5 - 10 menit sebelum memulai pelajaran
agama islam.
- Surat Ali Imran 159 tentang perintah musyawarah.
Artinya : ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat
diatas menjelaskan bahwa dengan adanya rahmat Allah swt, Nabi Muhamad saw,
berlaku lemah lembut, tidak bersikap dan berperilaku keras dan kasar. Selain
itu dalam pergaulan beliau senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat
salah serta memohonkan ampun kepada Allah terhadap kesalahan-kesalahan orang
yang menyalahi beliau. Rasulullah juga senantiasa bermusyarawarah dengan para
sahabatnya tentang hal-hal yang perlu dimusyawarahkan.Keluhuran budi Rasulullah
inilah yang menarik simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawanpun
menjadi tertarik sehingga mau masuk islam.
Penekanan isi ayat ini adalah perintah musyawarah tidak hanya untuk
nabi saja tetapi juga untuk semua orang.
Musyawarah berasal dari kata ”syawara” secara bahasa
artinya adalah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sedangkan arti menurut
istilah ialah : perundingan antar pribadi atau golongan mengenai suatu masalah
atau beberapa masalah, dengan maksud untuk mengambil keputusan atau kesepakatan
bersama.
Dalam bermusyawarah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip berikut :
a. Musyawarah dilandasi dengan hati yang bersih
b. Bermusyawarah dalam hal-hal yang baik atau tidak
mengarah kepada perbuatan dosa dan kejahatan.
c. Bersikap dan berperilaku yang baik misalnya : saling
menghargai dan menghormati, berkata yang sopan, tidak memaksakan kehendak dan
lain-lain.
d. Berlapang dada, bersedia memberi maaf dan meminta maaf
apabila ada kesalahan.
e. Terhadap hasil yang sudah disepakati kita laksanakan
bersama dan kita pasrah atau bertawakkal kepada Allah swt.
A. Surat Asy Syuura 38 tentang pentingnya musyawarah.
Artinya : ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
QS. Asy Syura 38 diatas menjelaskan sifat-sifat orang yang beriman yang
akan memasuki surga Yaitu :
a. Senantiasa melaksanakan perintah Allah swt, dan
meninggalkan larangannya.
b. Disiplin dalam mengerjakan sholat.
c. Selalu bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu
dimusyawarahkan.
d. Menafkahkan sebagian rizki yang telah dikaruniakan
oleh Allah swt. Untuk hal-hal yang diridloiNya.
Musyawarah termasuk salah satu sifat
orang yang beriman, hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
seorang muslim terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan,
misalnya : Hal yang sangat penting, sesuatu yang ada hubungannya dengan orang
banyak / masyarakat, pengambilan keputusan dan lain-lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat musyawarah sangat penting
karena :
a. Permasalahan
yang sulit menjadi mudah karena dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau
yang membahas orang yang ahli.
b. Akan terjadi
kesepahaman dalam bertindak.
c. Menghindari
prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang
banyak
d. Melatih diri
menerima saran dan kritik dari orang lain
e. Berlatih
menghargai pendapat orang lain.